Sabtu, 02 Januari 2010

DMasiv ft. Kevin Aprilio – Rindu Setengah Mati (Ost.Kejora Dan Bintang)

Aku ingin engkau ada disini

Menemaniku saat sepi

Menemaniku saat gundah


Berat hidup ini tanpa dirimu

Ku hanya mencintai kamu

Ku hanya memiliki kamu


Aku rindu setengah mati kepadamu

Sungguh ku ingin kau tahu

Aku rindu setengah mati


Meski tlah lama kita tak bertemu

Ku slalu memimpikan kamu

Ku tak bisa hidup tanpamu


Aku rindu setengah mati kepadamu

Sungguh ku ingin kau tahu

Ku tak bisa hidup tanpamu

Aku rindu…



Koleksi D'Massiv, Kevin Aprilio yang lain.
Mp3 Download & Lirik Lagu DMasiv ft. Kevin Aprilio – Rindu Setengah Mati (Ost.Kejora Dan Bintang)
Gambar Artis Indonesia

Download Lagu KliK

Minggu, 01 November 2009

TUGAS DEADLINE SENIN (02 Nov 09)

MemBuat Skenario (RPP) pembelajaran Materi Bebas dengan menetapkan dan menjelaskan 

  • Kopetensi dasar
  • standart kopetensi
  • indikator
  • tujuan
  • pokok materi
  • metode yang yang digunakan beserta langkah2
  • media yang digunakan dan langkah penggunaannya
  • stategi mengakaR guRu dan staregi belajar siswa
  • evaluasi.

(kerjakan Ya!!!)

Jumat, 16 Oktober 2009

RanGkumaN MAta KUliaH _ APRESIASI FILM

FiLm dbaGi menjaDi 2 SifaT yaKni Bersifat DramatiK dan NoN draMatik. Di dalaM film Yang Bersifat DraMatiK mempunyai UnsuR-UnsuR sebagaI beriKuT : 

  • Ide Cerita, mempunyai ciri-ciri : dipersatukan Dalam PloT dan AluR cerita, MasuK aKaL,MenaRik,MemPunyaI unsuR keteganGan Atau SUSPANSE, TerdapaT aksi GeraK yang DapaT mengaTuR emoSioNal para penontn dan maMpu menahan Diri dalam MengeloLa emosi Cerita serta tidak MelebiH-lebihkan aGar para penOntoN tidak termanipulasi
  • JuduL merupakan seBuaH alaT/StaTmenT untuK menaRik para PenoNton AgaR menyaKsiKn Film... JudUl dapaT dikatkan Baik ApaBila JuduL terseBuT mengeJutkan, BombaStis dan SensasioNal
  • Tema merupakan  bagian Yang sangaT terpEnting baGi sebuaH fiLm. KareNa dengan aDanya Tema Kita DapaT menenTukan AraH jaLan Cerita Dari SebuaH fiLm
  • KaraKteristik mempunyai Sub-Sub,diantaranya peNampilaN, diaLog,AkSi EksternaL,Aksi InternaL,ReaKsi TokoH,Nama ToKoH, dan IdentitaS toKoh
  • KonFlik

JeniS-JeniS fiLm :

  • Drama yakni seBuaH cerita Yang MemenggaL Sebuah Cerita KehiDupan
  • Komedi yakni seBuaH cerita Yang mengenalkan Sisi Lucu/Kocak
  • Action yakni sebuah Cerita yang mempunyai unsuR-unsur perlaWanan KontaK fisiK.
  • HoRor yakni Cerita Yang mengaNgkaT seBuaH keTegaNgan dan MeninggaLkan teka-teki
  • misTeri yakni seBuaH cerita Yang mengaNgkat Tema MisTiC

(To Be ContiNue)

TugaS buaT taNggaL 19 Oktober 2009 (anak TeKPenD-07b)

  1. TontoNlaH sebuaH film MinmaL 2x
  2. Analisis Film BerdasaRkan Ide Cerita,JuduL,tema,Konflik, dan Karekteristik Penokohannya
  3. dikumpulkan jam 12,pada tanggal 19 oktober 2009, kertas A4, font georgia ukuran 12 spasi 1 setengah dan desain cover semenarik mungkin.....

Selasa, 13 Oktober 2009

Labirin Kecil

Semburan cat spray beragam warna berhamburan membasahi baju-baju seragam putih kami, membentuk garis-garis penanda sebuah kebebasan. Kami bersorak saling menyalami satu sama lain. Merayakan sesuatu yang kami sebut kelulusan. Sesekali juga spidol besar bertinta hitam menghujam dan menghujani tubuh kami dengan berbagai kata-kata kenangan. Tak ada yang mengelak, bahkan masing-masing kami terus meminta. Meminta dibubuhi sekedar tanda tangan dan kalimat-kalimat perayaan di dada, lengan, kerah dan seluruh bagian yang belum bergurat dan berwarna. Kepada siapa saja, bahkan yang tak pernah dekat sekalipun. Semua menjadi satu dalam rangkaian kebahagiaan keberhasilan di hari terakhir ujian.

Ipang yang paling bersemangat, apalagi pada baju-baju siswa perempuan. Ia salah satu teman sekelasku yang berhasil membuat rekor terbanyak dijemur di tengah lapangan sepanjang sejarah lima belas tahun berdirinya MTs Al-Islamiyah. Namanya terpampang besar-besar di papan pengumuman sekolah sebagai siswa yang memiliki catatan datang terlambat paling banyak dan sempat terancam dikembalikan ke orang tuanya. Di sini, di MTs Al-Islamiyah orang pantang menyebut kata-kata dikeluarkan. Tabu dan memalukan, benar-benar terhina jika terhukum demikian.

“Ustad, sini mana baju lu, biar gue buatin kata mutiara yang nggak bakal elu lupain seumur hidup!” ucapnya sambil menarik bajuku dari belakang, kemudian mulai mencorat-coret di bagian yang masih kosong.

“Jangan kata-kata kotor ya!” sungutku cepat takut-takut ia menulis yang macam-macam.
“Tenang, nggak pantes kalau di baju ini mah.”
Ipang tertawa, tangannya masih gesit menulis tiap kata. Rasanya sangat panjang, aku begitu tidak sabar ingin segera membuka baju untuk membacanya.
Riuh ramai di sekitarku dengan cepat redam, lalu tiba-tiba sunyi. Beberapa anak berlarian ke segala arah hendak menyelamatkan diri. Aku dengan cepat menengadahkan wajahku yang dari tadi menunduk menunggu Ipang selesai dengan esaynya. Mataku terbelalak mengikuti desir nadi yang meningkat dengan cepat. Jantungku berseragam dengan urat di pergelangan tanganku itu, kini organ terpenting di bagian dada sebelah kiri itu memompa darahku makin cepat dan tak terkendali. Wajahku tiba-tiba pucat dan kelu.

Pak Muksin berdiri melotot dengan tatapan yang sangat menakutkan bersama seorang petugas keamanan yang berdiri di sebelahnya dengan sebuah pentungan dari rotan terjinjing di tangan kirinya. Mereka menatapku dan yang lainnya yang kini hanya bisu dan mematung terjerat sorot nyinyir guru BP itu. Ipang juga ternyata tidak sempat menyelamatkan diri, ia berdiri disampingku sambil meremas-remas bajuku gemetaran. Sempat kulirik wajahnya yang kini mulai basah oleh keringat dingin.
“Jongkok semua!” teriak Pak Muksin.

Kami beringsut tunduk, kaki-kaki ini tiba-tiba begitu lemah dan gemetaran. Tak sanggup aku membayangkan kejadian itu. Seluruh tulang seperti mencair dan meleleh.
“Pak, catat nama-nama mereka. Lalu giring anak-anak berandal ini ke tengah lapangan sekolah. Biar mereka tahu bagaimana akibat dari perbuatan mempermalukan diri sendiri,” dengan lantang dan tanpa keraguan sedikit pun Pak Muksin menjatuhkan vonis pertama untuk kami.
Kami terdiam dalam kepasrahan sambil terus berdoa semoga hukuman yang akan diterima tidak akan membuat kami kehilangan kesempatan mendapatkan ijasah. Kini hanya tersisa belasan siswa termasuk aku dari sekitar tiga puluhan orang. Betapa beruntung mereka yang sempat menyadari kehadiran Pak Muksin sebelum tertangkap basah. Kami yang tinggal adalah anak-anak naas yang memang tidak punya cukup otak untuk tidak melakukan ritual coret-coretan pasca ujian. Kami begitu tuli, sehingga tetap melakukannya.

Padahal sudah ratusan kali, atau mungkin ribuan sejak dimulainya kegiatan belajar mengajar di catur wulan ketiga. Di kelas saat belajar, di kantor saat terhukum, di saat upacara, dan di muhadoroh mingguan dengan jelas dan pasti larangan itu terucap dari mulut setiap guru. Yang paling sering tentu saja Pak Muksin.
“Kalian ini adalah generasi yang dipersiapkan untuk lulus dengan berbekal ilmu pengetahuan yang mumpuni dan akhlakul karimah. Maka sangat tidak pantas jika nanti kalian merayakan keberhasilan lulus dari sekolah ini dengan mencorat-coret baju yang dibeli oleh orang tua kalian dengan keringat dan pengorbanan siang malam. Kalian telah dididik untuk mengerti perbuatan yang layak dan tidak layak dilakukan orang-orang yang terpelajar. Maka sangat bodoh jika kalian masih tetap bersikeras mengikuti tingkah buruk yang mungkin dilakukan siswa-siswa dari sekolah lain itu setiap tahunnya. Siswa Al-Islamiyah diharamkan melakukan coret-coretan. Kalian dengarkan dan camkan, kecuali jika kalian tidak ingin mendapatkan ijasah. Haram bagi saya memberikan ijasah kepada mereka yang melanggar aturan ini!”
Kalimat-kalimat itu terus mengiang-ngiang di kepalaku dan puluhan siswa yang seangkatan denganku selama perjalanan belajar kami menjelang ujian akhir. Tapi dasar otak-otak berandalan, di detik-detik terakhir setan-setan begitu gencar melakukan rayuan-rayuan. Salah satu setan itu adalah Ahmad Arif Ilham alias Ipang. Ia selalu berada di barisan paling depan dan memimpin pasukan setan-setan Al-Islamiyah yang lain. Hari ini satu, besoknya bertambah menjadi lima, kemudian terus berkembang sampai akhirnya pasukan setan itu berjumlah 34 orang. Aku berada di barisan paling terakhir. Ipang begitu kuat mempengaruhi imanku, aku tak kuasa menolak ajakannya mengumpulkan uang untuk membeli pilok dan spidol.
“Tad, kali ini aja. Nggak bakal ada yang nahan ijasah kita. Itu adalah hak, nggak ada pengecualian kecuali diberikan. Rencana ini gue jamin nggak bakal ketauan. Gue sama teman-teman yang lain tahu tempat paling aman. Pokoknya elu bisa bersorak dan nyemprot siapa aja dengan tenang. Bayangin men, baju-baju kita ini bakal full color. Indah kan? Emangnya elu nggak mau bikin kenang-kenangan. Momen kaya gini nggak terjadi setahun sekali. Ayolah!” begitu provokasinya.

Aku menunduk tak berani menolaknya.

“Aha, kita bakalan bikin kalimat-kalimat jurumiyah. Atau kalau elu mau, khat model naskhi atau diwani juga bisa gue buatin. Kalau soal nulis huruf arab, jangan remehin teman lu ini. Elu bisa lihat itu di nilai rapor gue.”

“Tapi…”

“Emangnya elu nggak mau ngerangkai puisi di baju Shara?”
“Apa?”
Tiba-tiba aku berani menatap wajah setan di sebelahku itu penuh antusias. Darahku berdesir-desir ketika mendengar nama yang disebutkannya. Kesadaranku secara misterius lenyap dan dengan bodohnya tubuhku yang seolah tersihir ini bergerak mendekati umpan yang dilemparnya dihadapanku. Mata Ipang berbinar-binar dengan sigap layaknya seekor cheetah Afrika berpengalaman yang siap menerkam banteng muda yang berada hanya lima meter dari tempatnya mengintai.
“Iya,” suaranya terdengar makin bersemangat, “Shara Hilmah Az-Zahra, si pemilik lesung pipit paling indah di Al-Islamiyah, replikanya Cleopatra. Si pelantun shalawat tersyahdu seumpama Sulisnya Hadad Alwi. Gadis berkerudung rapat yang puisi-puisi buat dia cuma berani elu tulis di bagian belakang buku tulis Fiqh, Matematika, Geografi, Fisika, Aqidah Akhlak sama…, gue lupa di halaman berapa buku paket PPKN.”
Aku menunduk bersembunyi dari rasa malu dan sedikit harapan.
“Ini kesempatan terbaik buat dapetin senyumannya di perpisahan nanti. Apa elu nggak mau itu?”

Ipang terus-menerus membuaiku dengan serendengan harapan yang begitu membuai. Alisnya naik turun melengkapi senyum jeleknya yang mirip Joker musuh Batman. Setan memang tidak pernah putus asa.

Aku mengangguk. Tangan kananku bergerak cepat ke arah saku depan baju seragamku dan kemudian menarik dua dari tiga lembar uang ribuan untuk diberikan pada setan itu. Kalimat-kalimat sakti yang terucap dari bibirnya telah menarik ketidakwarasanku ke tingkat paling tinggi. Mengelabui otakku akan resiko besar yang akan kuhadapi nanti, melalap habis kenyataan bahwa terakhir kali kulihat Shara berhamburan dengan muka keruh begitu dihampiri Ipang ketika makan di kantin belakang, dan menyamarkan kesadaran bahwa uang yang baru saja kuberikan itu adalah jatah makan siangku hari itu. Aku sudah buta, lupa dan tuli. Hanya karena nama itu, nama yang selalu ingin kutulis di samping namaku.

Dan ke-irasional-an itu kini membuatku berada di tengah-tengah kerumunan para pesakitan yang jongkok berdesak-desakan di tengah lapangan sekolah menunggu eksekusi, mirip sekali dengan hewan-hewan ternak yang menunggu dengan dungu pisau-pisau tukang jagal menyayat-nyayat leher mereka di hari-hari tasyrik.
Pak Muksin berdiri sangar di hadapan kami yang hanya berani melihat tanah. Kemudian tiga belas siswa laki-laki dan empat orang siswa perempuan dipisahkan. Aku melirik ke arah kumpulan siswi itu, tidak ada si ‘lesung pipit’. Karena memang dari 34 setan hari itu, tak satu pun bernama belakang Az-Zahra.

Aku baru tahu maksud pembagian kelompok ketika dengan lantang Pak Muksin menyuruh kami para laki-laki untuk melepaskan baju seragam yang sudah lebih mirip baju-baju pantai ala Hawaii. Dengan pengalamannya yang segudang, guru BP yang galak itu tahu persis porsi keadilan dalam memberikan hukuman. Jika sekumpulan perempuan itu juga harus menanggalkan seragamnya, maka ketigabelas setan ini akan makin menjadi setan.

Dan jumlahnya akan bertambah tujuh lagi, yakni Pak Muksin, Pak Satpam, tiga orang guru laki-laki, seorang Tata Usaha, serta seorang laki-laki tua penjaga sekolah yang tidak mau ketinggalan menyaksikan tontonan yang hanya pernah terjadi sekali di pelataran Al-Islamiyah ketika aku masih kelas satu di caturwulan dua. Mereka, siswa-siswa kelas tiga yang memilih pulang lebih cepat dan siswa-siswa kelas satu dan dua yang senang karena tidak masuk sekolah hari itu juga pasti akan menyesal seumur hidup karena telah melewatkan sebuah peristiwa bersejarah di Mts Al-Islamiyah itu.
Aku begitu gemetaran. Untuk pertama kalinya setelah aqil baligh, aku bertelanjang dada di hadapan orang lain. Meskipun di rumah, aku hanya berani membuka baju di dalam kamar. Apalagi ada empat orang siswa perempuan yang mengintip malu-malu dari balik kerudung mereka dan beberapa orang guru wanita yang tak henti-henti menutup mulutnya dengan tangan penuh ketidakpercayaan atas apa yang sedang disaksikannya.

Tujuh belas orang murid mereka, yang selama tiga tahun mereka limpahi begitu banyak ilmu, norma, kebenaran-kebenaran, akhlak, semangat untuk menjadi lebih baik sedang melepaskan satu persatu kancing baju seragamnya dan menanggalkan semua rasa malu sebagai sosok-sosok keji yang tuli akan semua peringatan yang telah mereka sampaikan.
Pak Hatsbi, guru favoritku, menunduk tak kuasa sambil bersandar di daun pintu ruang guru. Sempat kulihat matanya berkaca-kaca, ia begitu kecewa. Selama hampir tiga tahun beliau menyirami kami dengan semangat membara para khalifah Islam berabad-abad silam demi mengusung agama ini ke tempat paling mulia. Tubuhku makin gemetar, rasa malu ini makin berada di puncaknya. Melihat semua orang begitu lirih menatap kami, aku makin tertekan. Tertekan rasa takut dan penyesalan tiada terkira. Teganya aku memberikan kekecewaan pada sosok-sosok yang telah mengajarkanku banyak hal-hal baik dalam hidup. Sia-sia sudah usaha keras wajah-wajah tulus itu mengisi rongga-rongga kosong di relung hati kami yang masih begitu rentan ini dengan jutaan kasih sayang.
Pak Satpam mengumpulkan satu persatu baju seragam para setan yang sudah tidak lagi memiliki harga diri itu, kemudian menumpuknya seperti sampah. Lalu dengan tergopoh-gopoh, lelaki tua si penjaga sekolah menjinjing ember besar berisi air dan sebuah gayung yang terhuyung-huyung mengambang diatasnya.
“Rasakan kebodohan kalian ini!” bentak Pak Muksin sambil mengguyur kami sekaligus tanpa ampun dan tanpa terkecuali.

Para siswi itu pun kini tak luput dari eksekusi. Dan dibawah sengatan terik matahari yang seakan ikut menghukum kami dengan menghujamkan sinar siangnya yang begitu ganas membakar kulit kami yang tak tertutupi sehelai bahan pun, kami kuyup tak berdaya.
Aku terus menyeka air yang mengalir di wajahku, para siswi mulai terisak-isak. Kudengar dengan jelas penyesalan yang begitu dalam di antara isak tangis yang terasa makin pilu. Aku tak berani lagi menatap para guru, apalagi Pak Muksin. Sosok yang selalu membuatku takzim luar biasa ketika mencium punggung tangannya yang kekar setiap kali berpapasan. Senyumnya selalu merekah begitu aku menengadahkan wajah menatap matanya yang setajam matahari di pagi yang cerah. Tak terasa, air mataku ikut meleleh dan jatuh bersama tetesan-tetesan air hukuman itu.
Kesedihan ini makin tak terbantahkan ketika sayup-sayup kudengar Pak Muksin terus-menerus mengucap kalimat istighfar.

“Astagfirullah… astagfirullah…,” ucapnya lirih dan menyayat-nyayat kalbuku yang rapuh ini. Begitu getir dan pahit bagi anak yang baru berusia tiga belas tahun.
Air itu ternyata bukan satu-satunya hukuman bagi para laki-laki, kini giliran gunting kecil di tangan kanan Pak Muksin yang beraksi. Memotong, membabat, menelanjangi kepala-kepala batu kami. Helai demi helai rambut-rambut yang lengket oleh bercak-bercak cat beragam warna itu runtuh melayang-layang menuju tanah. Semua yang tak lagi berwarna hitam harus terlepas dari tempurung kami.

Pak Muksin melakukannya tanpa tehnik, tanpa aturan, tidak seperti tukang-tukang cukur di pangkas rambut. Beliau memang tidak pernah belajar bagaimana cara menggunting rambut yang baik sehingga membiarkan sisa-sisa rambut yang masih berwarna asli tetap berada di tempatnya tumbuh. Tak bisa dibayangkan tampang kami ketika itu.
Aku sudah tidak peduli dengan itu, gema istighfar dari mulut Pak Muksin kian jelas dan nyata. Dadaku bergetar hebat ketika tiba giliranku, kurasakan gerakan gunting itu begitu berat dan suara-suara yang mengiringinya begitu miris. Guru Jurumiyah-ku itu seperti tidak rela dan dengan sangat berat hati melakukan tugasnya. Tapi kutahu, itu sebuah konsekuensi yang harus kuterima dengan ikhlas.
Gerakannya lambat tapi tanpa keraguan sedikit pun, menyiratkan besarnya kasih sayang yang hanya menghadirkan pedih yang mendalam. Melihat kenyataan bahwa murid-muridnya telah melemparkan diri ke lapisan paling rendah dan nista. Bahwa setiap kata, nasihat, dan larangannya dipandang seperti angin di malam-malam musim dingin, basah dan menusuk tulang. Dijauhi dan dilupakan. Tapi beliau masih terus berusaha keras untuk menarik kami kembali, meraih kembali kehormatan kami yang luluh lantah.
“Sekarang lihat, apa lagi yang bisa kalian banggakan ketika baju-baju yang kalian anggap penuh kenangan ini sudah tidak lagi bisa melindungi kulit kalian dari sengatan panasnya matahari dan guyuran air? Nanti, di padang Mahsyar, sungguh tidak sehelai pun, Anakku!” suaranya bergetar mengkombinasikan amarah dan kesedihan.
Pak Muksin berhenti karena tak mampu lagi mengendalikan perasaannya. Sementara tangan kanannya menggenggam kuat-kuat derijen minyak tanah. Urat-urat di punggung tangan yang sering kuciumi itu membesar dan berdesir-desir. Beliau menumpahkan isi dirijen ke tumpukan baju kami seutuh-utuhnya sampai tetesan terakhir. Kemudian secepat anak panah yang menusuk jantung Hamzah di perang Uhud, anak korek berapi itu dilemparnya.
Dap! Hanya sekejap, percik-percik api itu membesar dan berkobar. Melalap setiap inci baju seragam kami. Melumat semua kenangan yang tergores di tiap benangnya, melenyapkan esay Ipang untuk selama-lamanya.
“Lihatlah anak-anakku, betapa sia-sia perbuatan kalian!” Pak Muksin mulai bicara lagi. Lebih lantang dan tegas. Seperti kulihat sosok pemimpin besar umat Islam bernama Thariq bin Ziyad sedang berdiri penuh wibawa ketika sedang berusaha menyulut semangat para pasukan perang Islam dengan membakar perahu-perahu yang membawa mereka menyeberangi selat Gibraltar untuk misi penaklukkan dataran Andalusia.

“Kalian lihat, semua kenangan telah hangus terbakar. Tak ada yang perlu diingat lagi. Karena di depan sana, begitu banyak tantangan yang akan kalian hadapi. Terlalu banyak musuh-musuh nyata yang harus kalian taklukkan. Kalau kalian pikir coretan-coretan itu bisa berbuat sesuatu, kalian salah besar. Satu-satunya kenangan yang harus terus kalian bawa adalah ilmu pengetahuan dan segala hal baik yang telah diajarkan para guru di sekolah ini selama 3 tahun.”
Kobaran api yang membakar baju kami makin membara, menambah hawa panas di pelataran Al-Islamiyah. Begitu juga dengan Pak Maksin, kalimat-kalimat yang dilontarkannya makin berapi-api. Menyulut jiwa-jiwa muda kami yang hangus terbakar hasutan hawa nafsu.
“Saat ini kalian berada di sebuah labirin yang meliuk-liuk dengan dinding-dinding dari tumbuhan hidup yang menjulang begitu tinggi, hingga kalian tak tahu ada apa di balik dinding-dinding yang kokoh itu. Maka berpeganglah pada petunjuk orang-orang yang telah melewatinya. Niscaya kalian akan dapat melintasi tiap lorong dengan aman dan leluasa.” Desah nafas Pak Muksin memburu, beliau seperti sedang menatap wajah-wajah kami yang terus menuduk satu persatu.
“Dan kalian hampir saja keluar dari labirin kecil bernama Al-Islamiyah ini. Tapi lihat, apa yang kalian lakukan? Tepat di depan pintu gerbang keluar, kalian malah memutar arah dan mengabaikan petunjuk-petunjuk. Sekarang rasakan akibatnya, karena tidak ada yang tahu kapan kalian bisa sampai di gerbang itu lagi.”
Pak Muksin menutup pembacaan vonis hukuman untuk kami dengan kalimat yang begitu menggetarkan. Kalimat yang terus terngiang-ngiang dan mendengung di otakku sepanjang waktu setelah hari itu. Aku dan keenambelas setan yang tertangkap hari itu dipenuhi penyesalan yang tak mampu lagi dielakkan. Bahwa betapa ketololan kami mengabaikan seruan-seruan dari mereka yang lebih dulu hidup adalah sebuah kesalahan yang terbesar yang seharusnya tak akan pernah kami ulangi lagi. Bahwa setelah lulus dari sekolah ini, sudah menunggu taman labirin yang jauh lebih besar, lebih tinggi, dan lebih penuh misteri. Setelah itu, taman labirin yang jauh lebih besar bersiap-siap menampung kami. Begitu seterusnya sampai kaki-kaki kami tidak mampu lagi melangkah di antara dinding-dinding labirin yang angkuh dan tak mengenal belas kasihan itu.
Hanya rasa cinta, keyakinan dan takzim terhadap seruan-seruan kebenaranlah yang mampu menghantarkan kami sebagai manusia menuju titik akhir dari perjalanan hidup, yakni keridhaan Allah SWT yang berwujud Surga Firdaus.

Senin, 12 Oktober 2009

RanGkuman Mata Kuliah FilasaFat ( 06.10.09)

PENGERTIAN FILSAFAT

Menurut Brubacher menjelaskan pengertian filsafat secara etimologi sebagai berikut :

philosophy was, as its etymology from the Greek word filos and sofis, suggest, love of wisdom or learning. More over it was love of learning in general, it sub-sumed under one heading what today we call sciences as well as what we now call philosophy. It is for this reason that philosophy is often referred to as the as the mother as well as the queen of the sciences (Brubacher, 1962 : 20).

filsafat berasal dari perkataan yunani, filos dan sofia yang berarti cinta kebijaksanaan atau belajar, ilmu pengetahuan. Lebih dari itu dapat diartikan cinta belajar pada umumnya, dalam proses pertumbuhan ilmu-ilmu (sciences) hanya ada di dalam apa yang kita sebut sekarang filsafat. Untuk alasan inilah sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk atau ratu ilmu pengetahuan.

Disini kita dapat Mengetahui Tingkatan Pengetahuan, diantaranya :

  • Pengetahuan Biasa, Berguna untuk kehidupan sehari-hari dan dapat diterapkan di kehidupan sehari-hari. mempunya karakteristik tdk mendalam dan Meluas serta Kualitas yang Buruk.
  • Ilmu Pengetahuan, tujuan nya mencari kebenaran secara mendalam. dan mempunyai sifat obyek, metode, pengetahuan yang bersifat Umum serta Sistem
  • Filsafat

Para ahli menerangkan bahwa obyek filsafat itu dibedakan sebagai berikut :

1.Obyek materia atau obyek material filsafat yaitu segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, baik materi konkret, psisik, maupun yang material abstrak, psikis. Termasuk pula pengertian abstrak-logis, konsepsional, spiritual, nilai-nilai. Dengan demikian obyek filsafat tak terbatas, yakni segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada
2.Obyek forma atau obyek formal filsafat yaitu menyelidiki segala sesuatu itu guna mengerti sedalam dalamnya, atau mengerti obyek materia itu secara hakiki, mengerti kodrat segala sesuatu itu secara mendalam (to know the nature of everything). Obyek formal inilah sudut pandangan yang membedakan watak filsafat dengan pengetahuan. Karena filsafat berusaha mengerti sesuatu sedalam dalamnya.

Tetapi sesungguhnya, tiap ilmu pengetahuan pun mempunyai kedua obyek itu, obyek material dan obyek formal. Hanya saja, obyek material ilmu pengetahuan amat terbatas, tertentu. Demikian pula obyek formal ilmu pengetahuan, sudut pandang ilmu pengetahuan, tujuan ilmu pengetahuan tertentu pula. Misalnya obyek material ilmu jiwa, ilmu ekonomi, sosiologi, ilmu kesehatan, ilmu pendidikan, dan sebagainya. Adalah sama yaitu manusia. Dan karena obyek formal masing-masing ilmu tersebut berbeda, maka dengan mudah dapat dibedakan ilmu yang satu dengan yang lain.

Obyek material suatu ilmu dapat saja sama, indentik. Tetapi obyek formal ilmu tidak sama. Sebab subyek formal ialah sudut pandang, tujuan penyelidikan.

ContoH :

Ilmu                        Obyek material             Obyek formal

Kesehatan                  Manusia                     Kondisi kehidupan

Ekonomi                     Manusia                     Kebutuhan dan cara memenuhinya

Sosiologi                      Manusia                    Antar hubungan sosia

Pendidikan                 Manusia                    Pembinaan kepribadian

Psikologi                      Manusia                    Tingkah laku


( BersAmbUng.... TunggU ranGkuman SelanjuTnya Yaw )


Jumat, 09 Oktober 2009

Mungkin Berakhir Indah

Semenjak lulus SMA, saat itu usiaku delapan belas tahun, sikapku semakin tidak karuan. Apalagi ketika aku melanjutkan di bangku kuliah, ada saja perbuatanku yang tidak disukai oleh kaum Hawa. Teman-teman di kampus memberiku julukan si Mulut Buaya. Maklumlah, di tempatku kuliah hanya aku saja yang paling banyak diminati oleh gadis-gadis di kampus. Aku sangat bangga bahkan menjadi angkuh karena ketampananku. Badanku tinggi dan berisi bahkan mulai berotot seperti Ade Rai. Aku juga punya harta yang tujuh turunan tak akan habis. Aku juga disegani oleh teman-teman bahkan dosen di sana. Ya, jelas saja. Aku ini anak seorang pejabat negara.

Namun, ada satu gadis yang menurutku dia biasa saja. Kadang-kadang terlihat manis. Dia sangat membuatku kesal. Dia pernah menantangku dan tak ada rasa takut melawanku. Oh… mau cari mati dia, pikirku menantang.

Namanya, Linda. Dia perantau dari Bangka. Tidak cantik, tetapi cukup berani. Linda teman sekelasku. Dari semester satu sampai semester delapan saat ini, aku masih sekelas bersamanya. Kami selalu saja tidak pernah akur. Perdebatan sering terjadi. Tidak ada kata titik. Selalu saja tidak ada akhirnya. Sama-sama keras kepala.

Di kelas, aku dan Linda disebut sebagai Tom and Jerry. Seperti tikus dan kucing saja tiap hari bertengkar. Di suatu hari, entah hari apa, aku tak mendapat Linda masuk kelas. Mungkin dia tidak masuk hari ini. Dia sakit? Dia bolos? Dia mendapat hukuman? Ah… pertanyaan ini sering kali terlintas dalam benakku. Mengapa aku begitu khawatir?

Begitulah diriku, tidak mau menyadari kalau aku…

* * *

Di lain hari.

Linda berhasil menjadi ketua kelas. Aku menjadi sangat benci padanya. Aku kalah! Ah, itu tidak akan terjadi. Urusan sepele melawan dia! Dengan jurus bualanku, dia pasti akan tertarik padaku, dan akan masuk dalam perangkapku. Perangkap tikus, kataku dalam hati.

Wanita mana yang tidak akan tertarik padaku. Punya mobil kelas dunia yang hanya satu di Indonesia, wajahku tampan lebih dari seorang pangeran Inggris, pikirku membanggakan diri.

Sewaktu masih semester satu, aku pernah berpacaran dengan Lisa. Dia seorang model majalah terkenal. Cantik. Anak orang kaya. Berpenampilan menarik. Kemudian, aku putuskan hubungan dengannnya, hanya sebulan kita pacaran. Dia masih sakit hati sampai sekarang.

Lalu aku pacari lagi anak seorang angkatan darat. Namanya, Mona. Cantik dan feminin. Lagi-lagi aku memutuskan hubungan. Hanya sebulan pacaran. Kemudian, Shinta, seorang artis terkenal di Indonesia. Muda dan anggun. Aku pacari juga. Ya, hanya sebulan kita pacaran!

Lisa, Mona, Shinta, dan masih banyak lagi, mugkin sudah puluhan. Mereka adalah mantan pacarku di kampus, atau bisa disebut korban cintaku. Sakit hati. Wajarlah, hanya sebulan aku berhubungan kemudian aku putuskan! Selesai, ungkap diriku dalam hati.

Hanya dengan modal tampang keren dan ganteng. Bawa mobil pribadi, dan punya uang yang banyak, gadis-gadis di kampus berbondong mendaftarkan diri menjadi pacarku. Bahkan tidak hanya di kampus saja, di luar kampus juga banyak. Bukan salahku! Itu pilihan mereka!

Kupacari teman wanita di kampus, lalu kuputuskan. Kupacari lagi wanita lain di luar kampus kemudian kuputuskan, begitu seterusnya.

Tidak sedikit mantan pacarku yang sakit hati. Ada yang mencoba membunuhku, menamparku, bahkan melaporkan aku ke kantor polisi karena aku dianggap telah berbuat tidak senonoh terhadapnya. Ah, ada-ada saja, ketus hatiku.

“Sudah cukup kamu menyakiti hati mereka! Apa belum puas juga kamu!” Linda menggertak.

Tersentak aku kaget dari lamunanku yang membuatku merasa bangga ketika aku sedang bersantai di bangku kantin. Orang-orang di kantin juga memperhatikan Linda termasuk aku.

“He! Ngapain juga kamu ikut campur urusanku?”

“Aku tahu kamu tampan, ganteng, kaya, dan punya segalanya. Tapi hatimu busuk!”

“Apa kamu bilang? Enak saja kamu menghina aku!” Aku marah sambil bertolak pinggang.

“Itu kata-kata yang pantas kamu terima!”

Linda kemudian pergi dengan wajah sinisnya.

“Uh, dasar perempuan aneh!”

Mengapa Linda berkata kasar seperti itu? Apa aku punya salah padanya? Ya… sudahlah! Lalu aku pergi meninggalkan kantin di belakang kampusku, karena malu dipermalukan di depan teman-temanku.

Namun, aku juga tidak terima penghinaannya. Betul-betul keterlaluan!

“Sialan tuh anak, awas kalau bertemu nanti! Aku akan membalasnya!” sambil melotot menahan marah dan kesal.

Akhirnya, dengan perasaan penuh kesal aku tancap gas motorku dengan kencang. Menuju rumahku. Lampu merah aku terobos. Untung tidak ada polisi. Namun, di pinggir jalan kulihat Linda barjalan kaki sendiri. Entah mau kemana. Ah, kesempatanku memberi pelajaran padanya, bisikku penuh emosi.

Baru akan meminggirkan motorku ke trotoar, tiba-tiba mobil dari belakang menabrakku dengan kencang. Brak!! Suaranya seperti barang yang terjatuh dari lantai enam. Apa aku akan mati?

Aku melihat ada taman yang indah dipenuhi bunga-bunga berwarna-warni. Kulihat banyak kerumunan orang memakai baju putih tanpa lengan. Kulihat juga di sekeliling taman ada beberapa gadis cantik yang kukenal. Itu seperti, Lola, Anna, Firda, dan Sonia. Bukankah mereka sudah meninggal secara tragis karena bunuh diri? Ya… sejak aku putuskan tali cinta yang waktu itu terbina. Sejahat itukah diriku? Hingga membiarkan hati mereka hancur sampai mati.

Mereka berempat tersenyum padaku. Mereka membawaku berkeliling taman. Hingga mereka menunjukkan sesuatu berupa cahaya putih menyilaukan. Aku mendekati. Kulihat ke bawah, dan betapa kagetnya aku. Kulihat seorang pria terkapar di ruang operasi dengan tubuh penuh jahitan. Masih basah. Hidungnya terpasang selang oksigen, kaki dan tangannya diperban. Oh… itu diriku! Kulihat di sampingnya ada seorang gadis yang kukenal. Itu Linda! Aku memanggil-manggil namanya beberapa kali. Dia tak mendengar. Aku pasrah. Aku juga ingin meminta maaf karena diam-diam aku benar-benar jatuh cinta padanya. Ketika pertama masuk di bangku kuliah, semester satu. Aku memang sudah curi-curi pandang dirinya. Walau banyak gadis cantik, aku tak menaruh perasaan. Jantungku berdebar-debar. Dag-Dig-Dug. Sangat terasa menembus aliran darahku.

Saat itu, aku mencintai seorang gadis untuk pertama kalinya. Namun, dia tak menyambut cintaku. Ataukah memang dia tak mengerti apa yang kurasa? Karena itulah aku jadi galau. Hatiku ingin melampiaskan rasa sakit hatiku kepada semua gadis-gadis yang ada di kampus.

“Maafkan aku, Lola,” aku memelas. “Maafkan aku, Anna, maafkan aku, Firda,” desahku lirih. “Maafkan aku, pula Sonia,” aku menangis.

Tiba-tiba mereka membawaku lagi ke tempat yang penuh dengan cahaya putih berkilauan. Mereka mendorongku.

“Maafkan aku, Damar. Sejujurnya aku sangat menyayangimu. Namun, aku sadar bahwa aku bukan siapa-siapa di matamu. Aku hanyalah gadis kampung yang liar. Tidak sepadan denganmu yang tampan dan kaya. Maafkan pula kata-kataku tadi siang,” Linda menangis memegang tanganku, lalu mencium keningku.

Aku mendengar kata-katanya serta aku merasakan kecupannya yang begitu penuh kasih sayang.

“Ah,” mulutku seolah ingin berkata.

Aku tidak bisa membuka mataku. Tubuhku sakit semua. Hancur dan retak seperti tertindih pohon besar.

Tiada berdaya kudengar isak tangis orang yang kusayang. Linda. Maafkan aku. Hatiku memendam rasa bersalah. Kucoba membuka mata ini. Aku berhasil membuka mata ini. Kulihat Linda di sampingku sambil memegang tanganku. Air matanya mengalir terus- menerus.

Aku mencoba berkata-kata walau sungguh sakit.

“Ma…, ma…,” kata-kataku terpotong-potong. “Ma… af…, maafkan…, aku…,” ucapku terbata-bata. “Aku…, mencintaimu!”

Kali ini air mata Linda mengalir lebih deras. Ia menangis. Aku pun menangis.

“Aku juga mencintaimu dan aku akan menjagamu dengan kasih sayangku,” balas Linda terisak-isak.

“Terima…, kasih…,” aku memejamkan mata.

Tiba-tiba tubuhku melayang ke udara. Kulihat Linda menangis histeris. Keluargaku baru datang. Sudah terlambat!

Kini, aku ditemani oleh empat orang bidadari. Lola, Anna, Firda, dan Sonia. Mereka menemaniku di sini. Di tempat seharusnya aku berada.

Kamis, 01 Oktober 2009

“ I’m your January 5TH,1992 …. "


. Tanganku sedang memegang kertas yang bertuliskan 11 digit angka nomer telepon seluler seseorang yang pernah sangat berarti dan masih sangat berarti dihidupku. Degup jantungku berdetak kencang, berjuta tanya berputar – putar, telfon sms, jadi nggak jadi… Tuhan apa yang harus kulakukan ? Akhirnya kuletakkan kertas itu. Tapi aku tidak mampu mengangkat pandanganku darinya. Bimbang hatiku…. 
Mas Arya… orang ini pernah begitu berharga, dia pernah memiliki hidupku selama bertahun – tahun. Tapi dia juga pernah begitu menyakitiku dengan meninggalkanku dengan sejuta alasan yang tidak masuk akal yang ujung – ujungnya dia sudah memiliki orang lain. 
 
 Kalaupun aku menelfonnya, aku tidak yakin dengan reaksinya. Apakah dia hanya akan say hello… atau oh ya apa kabar selanjutnya… dia tidak merasa perlu untuk melanjutkan pembicaraan kami. 
Huuu…uuuhh… kutarik nafas panjang satu demi satu angka – angka itu telah berpindah ke handphoneku…. Tinggal menekan kirim… bimbang lagi. Kumatikan. Bisa gila aku kalau begini, ayo ambil keputusan ! Ya atau tidak ! Akhirnya dengan semangat 45: SMS aja ! 

 “ Selamat siang Pak Arya, apa kabar?”
Lamaaaaaaa… sekali tidak ada jawaban. Aku langsung patah arang. Ya khan.. dia tidak akan mengindahkan sms ku. Andai bisa kutarik saja sms tadi. Aduuuu…..uh nyesel…
Tapi agak sorean… 

 “ Selamat sore, maaf tadi sedang rapat, Siapa ya?” 

Jantungku seperti berhenti berdetak. Memang semenjak dia mengantar undangan pernikahannya ke rumah nomer Hp ku sengaja sudah kuganti. Lama sekali kami lost contact sehingga dia tidak lagi tahu nomer Hpku. Begitupun aku juga tidak pernah lagi mencoba menghubungi dia. Kujawab segera……

 “ I’m your January 5Th,1992”
 “ Miss U much…… “
 “ Gombal …. ! “

Akhirnya kami terlibat pembicaraan lewat telepon. Dari pembicaraan itu, ku mengetahui KAMU hanya MemOry yanG telah tersimpan dengan baik......dan Tidak perLu di BUKA laGhy..... ^_^